اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertakwalah kamu kepada Allah dimana dan kapan saja kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu menghapus keburukan itu, dan pergaulilah manusia dengan ahlak yang baik (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi, al-Bazar dan Abu Nu’aim dari Abu Dzar al-Ghiffari).
At-Tirmidzi berkomentar, “Hadis ini hasan shahih.” Al-Hakim mengatakan, “Hadis ini sahih menurut syarat Syaikhayn,” dan adz-Dzahabi menyetujuinya.
Tiga Pesan Nabi
Rasulullah saw. berpesan dengan tiga hal. Pertama: ittaqillâh haytsu mâ kunta. Kata haytsu bisa menunjuk tempat atau waktu. Itu artinya, dimana saja dan kapan saja; dalam kondisi apa saja dan sedang apa saja; sendirian atau bersama-sama; kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah. Adapun terkait takwa, Ibn Rajab dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam mengatakan, “Termasuk dalam takwa yang sempurna adalah mengerjakan kewajiban, meninggalkan keharaman dan syubhat; boleh juga masuk di dalamnya setelah itu mengerjakan yang mandub (sunah) dan meninggalkan apa-apa yang makruh, dan itu derajat takwa yang paling tinggi.”
Secara bahasa taqwâ berasal dari wiqâyah (perisai). Takwa secara bahasa artinya melindungi diri dari sesuatu yang ditakuti. Takwa kepada Allah artinya melindungi diri dari sesuatu yang ditakuti berasal dari Allah berupa sanksi, siksa, azab dan kemurkaan Allah SWT. Semua itu akan ditimpakan jika yang wajib/fadhu tidak dikerjakan atau yang haram malah dikerjakan. Dengan demikian, seperti yang dikatakan oleh al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz, takwa adalah melaksanakan apa yang difardhukan dan meninggalkan apa yang diharamkan. Ini adalah takwa yang mendasar. Selain itu, untuk makin membentengi diri dari azab Allah di akhirat, kita perlu memperbanyak raihan pahala dari Allah agar kadar timbangan amal baik di akhirat nanti lebih berat. Caranya adalah dengan melaksanakan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh, karena dalam keduanya ada pahala dari Allah. Itu juga menjadi bagian dari takwa kepada Allah, tambahan dari ketakwaan yang mendasar. Umar bin Abdl Aziz mengatakan, “Siapa yang diberi kebaikan setelah itu maka itu adalah tambahan kebaikan atas kebaikan.”
Untuk merealisasikan takwa itu juga penting menghindari apa saja yang memungkinkan seseorang jatuh pada yang haram, yaitu menjauhi segala sesuatu yang syubhat.
Dari penjelasan itu takwa bisa dideskripsikan sebagai keterikatan dengan hukum syariah, yaitu mengerjakan atau tidak mengerjakan suatu perbuatan; dan mengambil atau tidak mengambil sesuatu, menurut ketentuan hukum syariah.